Sewaktu
dilantik sebagai khalifah, Abu Bakar Siddik menyampaikan pidato kenegaraan yang
sangat brilian. Dalam pidatonya, ia menegaskan dirinya bukanlah orang yang
terbaik. Lantaran itu, ia meminta dukungan umat Islam sekiranya ia benar, dan
mengharapkan kritik dan koreksi kalau ia salah atau bertindak serong.
Umar bin Khattab, pengganti Abu Bakar, dalam pengukuhannya sebagai khalifah,
menyampaikan pidato yang lebih kurang sama. Antara lain, ia menegaskan
komitmennya untuk berpegang teguh pada Alquran dan Hadis secara konsekuen dan
konsisten. Lalu, katanya lagi, ''Kalau kalian melihat ada penyimpangan pada
diriku, maka kalian harus meluruskannya.''
Mendengar pernyataan Umar itu, seorang penggembala yang ikut hadir dalam acara
pelantikan, berdiri sambil mengacungkan pedangnya seraya berkata, ''Kalau
kulihat ada penyimpangan dalam diri Tuan, maka aku akan luruskannya dengan
pedangku ini!''
Umar, sang khalifah, tersenyum. Ia bersyukur kepada Allah SWT, karena merasa
masih ada di antara rakyatnya yang memiliki iktikad baik untuk menegakkan
kebenaran.
Kita dapat memetik pelajaran berharga dari teladan kedua tokoh Islam itu. Bagi
keduanya, pelantikan pejabat (bay'at) bukanlah upacara tahunan atau seremonial
belaka tanpa makna. Sumpah janji yang diucapkan pejabat bukan pula koor atau
pernyataan yang hanya bersifat verbalistik. Sumpah janji dengan dan atas nama
Tuhan itu pada hakikatnya adalah komtimen iman dan sekaligus kontrak sosial
yang mengikat para pejabat untuk selalu berpihak kepada kebenaran, keadilan, kemaslahatan rakyat dan menerapkan islam secara kaffah (menyeluruh) sebagai konsekuensi keimanan, sebagaimana firman Allah :
"Wahai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu semuanya kedalam Islam secara kaffah (menyeluruh),
dan janganlah kamu menuruti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya dia itu
musuh yang nyata bagimu." (Qs. al-Baqarah 2:208)
Dalam Islam, pelantikan dan sumpah pejabat itu dinamakan bay'at, berasal dari
kata bay' yang secara harfiah berarti jual-beli. Jual-beli (bay') melibatkan
dua pihak: satu pihak menyerahkan barang (mutsman) dan pihak yang lain menyerahkan
uang (tsaman). Seperti halnya jual-beli (bay'), bay'at juga melibatkan dua
pihak, yaitu pejabat (pemimpin) dan rakyat (yang dipimpin), yang keduanya harus
pula saling berbagi dan memberi.
Ibn Manzhur, pengarang Lisan al-'Arab, memahami bay'at sebagai sebuah transaksi
(mu'aqadah) dan kontrak sosial (mu'ahadah) yang mengikat kedua belah pihak:
pemimpin dan rakyat yang dipimpin. Dengan bay'at, masing-masing pihak
seolah-olah telah menjual atau membeli dari pihak lain (mubaya'ah). Pemimpin
menuntut kepatuhan (tha'at), tetapi rakyat menuntut keadilan, rasa aman, dan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Jadi, dalam Islam bay'at itu mengandung empat makna. Pertama, tekad untuk
memegang teguh Alquran dan Sunnah. Kedua, tekad untuk bekerja dan menjalankan
roda kepemimpinan sesuai dengan petunjuk keduanya. Ketiga, tekad untuk selalu
berbuat adil dan mementingkan kemaslahatan umat. Keempat, tekad untuk bersikap
terbuka dan bersedia menerima saran dan kritik konstruktif dari rakyat.
Bay'at memiliki implikasi teologis dan sosiologis sekaligus. Para pejabat yang
menjalani bay'at tentu harus tahu dan memahami implikasi dari bay'at itu.
Oleh
: A.I. Ismail
0 komentar:
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.