
Saat selesai satu lagu dan kami meminta tambahan
lagu, dia langsung bernyanyi kembali tanpa membantah. Ia juga menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan. Ia tidak bersekolah karena tidak punya
uang, tetapi ia belajar sama ayah, demikian jawabnya terhadap pertanyaan
tentang sekolah.
Tiga hari kemudian saya masih selalu bertemu
dengannya. Di arena peringatan Hari Anak Nasional di Taman Ismail Marzuki, yang
diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta dan saya menjadi salah satu
panitianya. Setiap hari ia menghadiri pameran, ikut bermain dan berlomba di
semua acara yang diselenggarakan secara gratis itu. Satu hal yang paling
menarik perhatiannya adalah bazaar buku. Ada satu buku pengetahuan popular dengan
gambar warna-warni yang sangat menarik perhatiannnya. Begitu ingin dia memiliki
buku itu, tetapi sayang harga buku itu cukup mahal. Akhirnya, dia hanya bisa
memandangi dan membuka-buka, berlama-lama di depan stand sepanjang pameran
berlangsung. Namun, ternyata Allah sayang padanya.
Pada hari terakhir, ada lomba spontanitas dengan
hadiah buku-buku pengetahuan ppopular itu. Dan dia, lelaki kecil itu,
memenangkannya. Sampai malam hari, saat kami berkemas, dia masih datang,
membawa tas kresek berisi buku-buku. Dengan ceria dia bermain, bercerita dan
bergaul tanpa takut. Menjawab setiap pertanyaan dengan lincah. Bahkan dengan
bangga dia bercerita, kalau di rumah ia punya buku tentang Albert Einstein. Si
kecil itu, Waliyan namanya
***
Azan isya baru saja berlalu. Kawasan Tanah Abang masih ramai saat saya menaiki
PPD reguler 916. Masih ada dua sosok kecil, kotor, tak beralas kaki, dan bau
yang menghuni bangku-bangku itu saat para penumpang masuk.
Sosok yang lebih besar, perempuan kecil berkuncir
kuda, bangkit terlebih dahulu sambil membangunkan partnernya yang sepertinya
adalah adiknya. Si cowok kecil bangun dengan malas, namun tidak punya pilihan
lain selain berdiri dan bersiap ‘bekerja’ kembali.
Mereka minggir ke belakang, sambil tertawa-tawa.
Ketika penumpang telah penuh, mereka segera beraksi. “Di Pondok keciiil, di
atas bukit….” Syair itu mengalun cempreng dari mulut rambut merah itu. Si kecil
bahkan berkali-kali terpejam, nampak sekali masih sangat ngantuk, namun tetap
terus bernyanyi karena kakaknya menyenggolnya berulang kali. Matanya baru
terbuka lebar, saat seorang penumpang mengangsurkan selembar lima ratu-an
perak, yang segera ditunjukkannya dengan gembira pada kakaknya. Dia seakan
belum pernah menerima uang ‘lima ratus perak’ ketika ngamen.
Saya ingin menanyai mereka tentang banyak hal, tapi
situasi tak memungkinkan. Yang saya dengar dari percakapan mereka adalah,
perbincangan dengan kata-kata yang cukup jorok dan selingan tentang makanan dan
lain-lain. Tak ada tentang buku, sekolah, belajar dan sejenisnya.
***
Banyak hal yang membuat mereka sama. Pertama, mereka sama-sama bau matahari
karena setiap hari mandi matahari. Kedua, mereka memiliki kepolosan dan potensi
kecerdasan yang relatif sama.
Mungkin ada sesuatu yang bisa kita lakukan, untuk
tetap menjaga keceriaan mereka. Menjaga fitrah dan kepolosan mereka. Mereka
memang bukan siapa-siapa, tetapi insya Allah, mereka tidak tumbuh menjadi
preman, kalau saja ada yang peduli.
Mungkin, kita bisa berkontribusi, setidaknya agar
anak-anak berbau matahari itu bisa tetap belajar dan cinta buku, sebagai bekal
masa depannya, seperti si kecil Waliyan. Mungkin mereka masih akan tetap berbau
matahari tiap pagi, tapi semoga masih ada harapan, bau itu adalah bau yang
sehat dan mendorong mereka ‘belajar’ tentang kehidupan dan menjadi lebih kuat,
karena ada orang dewasa yang mengarahkan mereka dengan nilai-nilai yang
mendidik.
**Eramuslim**
0 komentar:
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.